Advertisement

43 Persen Masyarakat Indonesia Sering Gunakan AI

Sirojul Khafid
Minggu, 11 Mei 2025 - 17:47 WIB
Sunartono
43 Persen Masyarakat Indonesia Sering Gunakan AI Ilustrasi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) / Ilustrasi Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Hampir setengah dari responden, atau sekitar 43% masyarakat Indonesia menyatakan bahwa mereka sering menggunakan artificial intelligence (AI) dalam kehidupan sehari-hari.

Temuan ini berasal dari survei daring Snapcart pada bulan April 2025. Survei dengan 3.611 responden tersebut untuk mengeksplorasi dinamika masyarakat Indonesia dalam menggunakan AI, untuk apa mereka menggunakannya, dan bagaimana mereka berhubungan secara emosional dengannya.

Advertisement

Hasilnya mengungkap pandangan menarik tentang peran AI di berbagai kelompok usia dan bagaimana AI berevolusi dari alat yang memudahkan menjadi alat pendamping. Lihat artikel ini untuk melihat temuan kami. Temuannya mengungkapkan bahwa AI digunakan secara luas di seluruh Indonesia. Hampir setengah dari responden (43%) menyatakan bahwa mereka sering menggunakan AI dalam kehidupan sehari-hari.

Sebanyak 41% lainnya pernah menggunakan AI sebelumnya tetapi hanya sesekali, yang menunjukkan semakin akrabnya mereka dengan teknologi tersebut, meskipun belum menjadi kebiasaan. "Hanya 16% orang Indonesia yang disurvei mengatakan bahwa mereka tidak pernah menggunakan AI, yang menunjukkan bahwa sebagian kecil dari populasi tersebut masih belum tersentuh oleh perangkat AI," tulis dalam laporan tersebut.

BACA JUGA: Bukan Urutan Ke-2, Pengeluaran Warga Kota Jogja Tertinggi Ke-4 Nasional

Penelitian lebih lanjut tentang demografi usia menunjukkan bahwa Gen Z (usia 13–24), sebanyak 50% melaporkan sering menggunakan AI. Generasi ini merupakan yang tertinggi dari semua kelompok yang disurvei dalam menggunakan AI. Anak-anak di bawah 13 tahun juga menunjukkan penggunaan yang tinggi, dengan 40% mengatakan mereka sering menggunakan AI.

Generasi milenial, mereka yang berusia 25–44 tahun, menyusul dengan tingkat penggunaan yang sering sebesar 29%. Penggunaan menurun di antara generasi yang lebih tua—hanya 23% dari Gen X (45–60 tahun) dan 31% dari mereka yang berusia di atas 60 tahun yang menggunakan AI secara teratur. "Kesenjangan generasi ini menyoroti kenyamanan dan antusiasme yang dimiliki generasi muda terhadap teknologi baru, sementara pengguna yang lebih tua masih dalam tahap adopsi," tulisnya.

Alasan Utama Orang Indonesia Menggunakan AI

Dalam hal aplikasi praktis, alasan paling populer orang Indonesia menggunakan AI adalah untuk mendukung pekerjaan akademis. Siswa di semua tingkat pendidikan menganggap AI sangat membantu untuk menyelesaikan tugas sekolah atau kuliah.

Penggunaan utama lainnya adalah untuk penelusuran daring dan penelitian data (26%) dan juga untuk membantu menyelesaikan tugas yang rumit (14%), terutama di lingkungan kerja. Sementara itu, di bidang hiburan, kelompok yang lebih kecil namun penting juga menggunakan AI untuk kegiatan rekreasi.

Yang mengejutkan, beberapa responden (6%) mengatakan mereka menggunakan AI sebagai "teman" untuk berbicara dan berbagi perasaan. "Penggunaan ini menunjukkan tren yang berkembang di mana AI tidak hanya dilihat sebagai asisten pintar, tetapi juga sebagai teman curhat digital. Meskipun masih minoritas, perilaku ini membuka diskusi tentang bagaimana AI dapat berkembang menjadi sumber dukungan emosional," tulis dalam laporan.

Bisakah AI Gantikan Psikolog?

Salah satu temuan yang cukup menarik dari survei Snapcart bahwa seseorang terlibat secara emosional dengan AI. Di antara mereka yang menggunakan AI untuk berbicara dan berbagi perasaan, 58% mengakui bahwa mereka terkadang menganggap AI sebagai pengganti potensial bagi psikolog.

Namun, tidak semua pengguna melihatnya seperti ini. Sebanyak 42% sisanya dari mereka yang mengobrol dengan AI untuk dukungan emosional mengatakan bahwa mereka tidak melihatnya sebagai pengganti profesional kesehatan mental. "Bagi mereka, AI lebih berfungsi sebagai teman atau pelampiasan biasa, mirip dengan melampiaskan keluh kesah pada jurnal atau berbicara dengan hewan peliharaan," tulis dalam laporan.

Pengguna ini menghargai kemampuan AI untuk "mendengarkan", tetapi mereka menyadari keterbatasan dukungan buatan jika dibandingkan dengan terapis manusia yang terlatih. Kesenjangan ini menyoroti percakapan penting tentang batasan teknologi dalam kesehatan mental. "Meskipun AI dapat menawarkan pelampiasan sementara, sentuhan manusia tetap tak tergantikan bagi banyak orang," tulisnya.

Dalam praktik psikologi, chatbot AI dapat membuat terapi lebih mudah diakses dan lebih murah. Alat AI juga dapat meningkatkan intervensi, mengotomatiskan tugas administratif, dan membantu dalam pelatihan dokter baru. Di sisi penelitian, kecerdasan sintetis menawarkan cara baru untuk memahami kecerdasan manusia, sementara pembelajaran mesin memungkinkan peneliti untuk memperoleh wawasan dari sejumlah besar data. Sementara itu, para pendidik mengeksplorasi cara untuk memanfaatkan ChatGPT di kelas.

“Banyak orang yang menolak, tetapi ini adalah sesuatu yang tidak dapat kita kendalikan. Ini terjadi entah kita menginginkannya atau tidak,” kata seorang psikolog berlisensi dan advokat teknologi yang berbasis di Texas, Amerika Serikat, Jessica Jackson. “Jika kita bijaksana dan strategis tentang bagaimana kita mengintegrasikan AI, kita dapat memiliki dampak nyata pada kehidupan di seluruh dunia.”

BACA JUGA: Artificial Intelligence Mengancam Pers, Pakar: AI Tak Dapat Menangkap Empati Reportase

ChatGPT Paling Populer di Indonesia

ChatGPT menjadi AI yang paling populer di Indonesia. Sebanyak 71% responden Indonesia menggunakan ChatGPT. Di peringkat berikutnya, pengguna terbanyak AI di Indonesia yaitu Meta AI (52%), dan CapCut (40%). Gemini digunakan oleh 34%, dan Google Assistant oleh 23%. Platform ini memiliki beragam fungsi, mulai dari alat produktivitas hingga aplikasi kreatif dan asisten pribadi.

Riset Snapcart menemukan bahwa kepercayaan terhadap AI bervariasi di antara populasi. Sebanyak 13% orang Indonesia mengatakan mereka sangat percaya pada AI, 27% menyatakan tingkat kepercayaan secara umum, dan 58% tetap netral.

"Hanya 1% yang melaporkan kurangnya kepercayaan, dan khususnya, tidak ada seorang pun (0%) yang mengatakan mereka sama sekali tidak percaya pada AI, yang menunjukkan persepsi yang sebagian besar positif secara keseluruhan," tulis dalam laporan tersebut.

Kembali ke AI yang berpotensi menggantikan AI, 39% persen responden masyarakat Indonesia mempertimbangkan karena biaya ke psikolog tergolong mahal. Sedangkan saat menggunakan AI, biayanya gratis. Sebanyak 27% lainnya percaya bahwa AI lebih baik dalam menjaga rahasia daripada manusia, termasuk psikolog.

Sekitar 11% berpikir AI dapat membantu memecahkan masalah pribadi, sedangkan psikolog terutama berfokus pada pemulihan kesehatan mental. Terakhir, 10% merasa bahwa AI kurang menghakimi, lebih netral, dan pengertian dibandingkan dengan psikolog. “Meskipun sebagian orang di Indonesia memercayai AI dalam hal pribadi, mayoritas tetap netral, yang menunjukkan optimisme yang hati-hati," kata Associate Account Director Snapcart di Jakarta, Boy Irvan, Kamis (24/4/2025).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

DPR RI Sorot Kecelakaan Tewaskan 11 Guru di Jalan Purworejo-Magelang

News
| Senin, 12 Mei 2025, 14:27 WIB

Advertisement

alt

Penutupan Wisata Taman Nasional Manusela Diperpanjang

Wisata
| Minggu, 11 Mei 2025, 11:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement